Gugus Tugumuda adalah nama kelompok sekolah dalam Daerah Binaan (Dabin II) di bawah pengawasan UPTD Pendidikan Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah. Dinamai Tugumuda karena memang letak anggota kelompok ini berada di sekitar Tugumuda, monumen kebanggaan warga sekaligus ikon kota Semarang.Gugus Tugumuda memiliki anggota 8 sekolah, yaitu SDN Sekayu, SDN Kembangpaes, SDN Kembangsari, SD Marsudirini, PG-TK-SD Kristen 3 YSKI, SD Masehi Poncol PSAK, SDIB An-Nissa, dan SD Muhammadiyah 13.

The Principal

Sarasehan bersama DPKS

Jumat, 29 Januari 2010

Lesson Study : Sarana Peningkatan Kualitas Mengajar

Latar belakang

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 19 ayat 1 berbunyi: proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, aspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk dapat mewujudkan pembelajaran seperti yang diamanatkan peraturan itu diperlukan kemauan dan kreatifitas guru. Di samping itu juga perubahan paradigma lama oleh guru itu sendiri. Pendidikan modern memusatkan proses pembelajaran pada peserta didik. Melalui bimbingan guru, peserta didik diarahkan untuk mengeksplorasi segala sesuatu yang dipelajari. Untuk dapat menciptakan kondisi belajar yang interaktif, aspiratif, menyenangkan, menantang diperlukan SDM yang benar-benar profesional (dan rela melepaskan status sebagai pekerja). Banyak pelatihan, seminar, workshop yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga pendidikan untuk membangkitkan motivasi demi meningkatkan kinerja guru. Namun segala daya dan upaya tersebut tampaknya belum mampu mengubah sikap, pandangan, dan kinerja para praktisi pendidikan (guru). Ada banyak faktor yang mempengaruhi baik internal maupun eksternal.


Apakah Lesson Study itu ?

Beberapa tahun terakhir, di Jepang dikembangkan usaha meningkatkan profesionalisme guru melalui kerja kelompok yang disebut Lesson Study. Lesson Study adalah model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun masyarakat belajar. Lesson Study merupakan suatu kegiatan kelompok guru yang berkeinginan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang diselenggarakannya. Dengan demikian Lesson Study merupakan kegiatan dari guru, oleh guru, dan untuk guru, demi meningkatkan kualitas pembelajaran. Prinsip dari kegiatan ini adalah bahwa yang mengetahui permasalahan pembelajaran dan pemecahannya hanyalah guru, bukan orang lain.
Lesson Study bukan suatu metode pembelajaran atau suatu strategi pembelajaran, tetapi dalam Lesson tudy guru dapat memillih dan menerapkan berbagai metode/strategi pembelajaran atau materi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi atau permasalahan pembelajaran yang dihadapi pendidik.


Lesson Study sebagai alternatif pembinaan ?

Model pembinaan yang sudah berlangsung di sekolah-sekolah di Jepang itu telah diteliti oleh Makoto Yoshida, seorang pendiri dan presiden Global Education Resources. Makoto, warga negara Jepang yang bermukim di New Jersey, Amerika Serikat, menemukan manfaat dari Lesson Study ini antara lain mengurangi keterasingan dan membantu guru untuk mengobservasi dan mengkritisi pembelajarannya. Selain itu, guru dapat memperdalam pemahamannya tentang materi pelajaran, cakupan dan urutannya. Lesson Study juga membantu guru dalam peningkatan pembelajaran yang memfokuskan pada seluruh aktivitas belajar siswa. Manfaat lain adalah terjadi kolaborasi antarsesama guru dalam pembelajaran. Kualitas guru dan pembelajaran yang memungkinkan meningkatnya kualitas lulusan. Lesson Study memberi kesempatan guru berkonsultasi dengan pakar (dalam kelompok Lesson Study) dalam hal pembelajaran atau kesulitan materi pelajaran. Pada kegiatan Lesson Study memungkinkan guru memperbaiki pratek pembelajarannya. Hal lain adalah meningkatkan keterampilan menulis karya tulis ilmiah dan buku ajar bagi para guru.


Lesson Study merupakan suatu cara yang efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas belajar yang dilakukan siswa, karena pengembangan Lesson Study berangkat dari hasil sharing atas pelaksanaan praktek dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan para guru. Lesson Study menekankan agar para siswa memiliki kualitas belajar yang tinggi. Fokus utama Lesson Study adalah tujuan pembelajaran. Berdasarkan pengalaman, Lesson Study mampu menjadi landasan bagi pengembangan pembelajaran. Hal yang tak kalah penting adalah Lesson Study menempatkan peran para guru sebagai peneliti pembelajaran.


Tahap-tahap pelaksanaan Lesson Study

Ada tiga tahap yang terdapat dalam pelaksanaan Lesson Study. Tahap-tahap itu adalah :

1. Plan (perencanaan)

Pada tahap ini dilakukan identifikasi masalah (materi pelajaran, karakteristik siswa dan suasana kelas, metode/pendekatan pembelajaran, metode/pendekatan pembelajaran, media, alat peraga, dan penilaian dan alternatif pemecahannya) ; penyusunan tema penelitian ; dan penyusunan perangkat pembelajaran (Rencana Pelaksanan Pembelajaran ; lembar Kegiatan Siswa (LKS); media dan Alat Peraga; instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran; Lembar Observasi Pembelajaran).

2. Do (implementasi dan observasi)

Pada tahap ini seorang guru yang telah ditunjuk oleh kelompoknya mengimplementasikan Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP) di kelas. Pakar dan guru lain melakukan observasi terhadap tingkah laku siswa saat mengikuti pelajaran. Baik juga jika dilakukan perekaman audio visual yang meng-close up kejadian-kejadian khusus kepada siswa atau kelompok siswa selama pelaksanaan pembelajaran.
Hal-hal yang dapat dicatat oleh observer antara lain : menuliskan nama atau posisi tempat duduk siswa, mencatat komentar atau diskusi yang dilakukan siswa, membuat catatan tentang situasi ketika siswa melakaukan kerjasama atau memilih untuk tidak melakukan kerjasama, mencari contoh-contoh terjadinya proses konstruksi pemahaman melalui diskusi dan aktivitas belajar yang dilakukan siswa, mencatat variasi metode penyelesaian masalah oleh siswa secara individual atau kelompok termasuk strategi penyelesaian yang salah, dan lain-lain.

3. See (refleksi)

Pada tahap ini guru/pengajar mengungkapkan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap siswa. Selanjutnya observer (guru lain dan pakar) menyampaikan hasil analisis data observasinya, terutama yang menyangkut kegiatan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung yang disertai dengan pemutaran video hasil rekaman pembelajaran. Berikutnya pengajar memberikan tanggapan balik atas komentar para observer.

Tujuan dilibatkannya nara sumber adalah untuk memantau pelaksanaan Lesson Study dan memberikan masukan pada saat dilakukan evaluasi sementara keterlibatan Kepala Sekolah dan Waka Kurikulum dimaksudkan :

  1. Sebagai penggerak, motivator, dan koordinator secara keseluruhan.
  2. Mengatur jadwal kegiatan agar pelaksanaan Lesson Study tidak menganggu tugas guru, sekaligus mengatur pelaksanaan Lesson Study untuk setiap rumpun bidang studi.
  3. Memimpin kegiatan Lesson Study, khususnya dalam perencanaan dan refleksi.
  4. Mengarahkan kegiatan Lesson Study sesuai dengan misi sekolah.
  5. Mengarahkan dan mengevaluasi pelaksanaan Lesson Study.

Di Tingkat Berapa Moral Kita ?

Seperti halnya aspek kognisi, afeksi, dan motorik, aspek moral juga mengalami tahap-tahap perkembangan. Oleh Kohlberg, William Damon, Robert Selmon, Garbarino, Bronfenbrenner, Erickson, Lickona, perkembangan moral manusia dibagi menjadi beberapa tahap. Megawangi (2007) merangkum tahap-tahap perkembangan moral manusia menjadi lima tahap. Tahap pertama disebut sebagai tahap terendah perkembangan moral seseorang dan tahap kelima adalah tahap tertinggi moral seseorang. Kelima tahap itu adalah :
1. Berpikir Egosentris (Self-Oriented Morality)
2. Patuh Tanpa Syarat (Authority-Oriented Morality)
3. Memenuhi Harapan Lingkungan (Peer-Oriented Morality)
4. Ingin Menjaga Kelompok (Collective-Oriented Morality)
5. Moralitas Tidak Berpihak (Objectively-Oriented Morality)
Tiap tahap memiliki ciri-ciri yang dapat dapat diamati dari perilaku individu yang sedang berproses. Berikut ciri-ciri tiap-tiap tahapan :
1. Berpikir Egosentris (Self-Oriented Morality)
Ciri-ciri seseorang yang berada dalam tahap ini antara lain :
  • Mau berbuat baik jika mendapatkan hadiah atau pujian.
  • Menghindari perilaku buruk karena takut akan hukuman.
  • Senang melanggar aturan.
  • Senang memamerkan diri.
  • Senang memaksakan keinginannya yang kadang-kadang dilakukan secara manipulatif dan berbohong.
2. Patuh Tanpa Syarat (Authority-Oriented Morality)
Usia kalender berkisar antara 4 – 8 tahun. Ciri-ciri anak-anak yang telah mencapai tahapan moral ini adalah :
  • Bersedia patuh pada aturan yang dibuat orang tua atau orang dewasa agar terhindar dari masalah atau hukuman.
  • Menganggap pendapat yang paling benar adalah pendapat orang dewasa.
  • Senang mengadukan kawan-kawannya yang nakal.
  • Orang dewasa adalah satu-satunya panutan moral.
  • Pelanggar harus dihukum, yang baik harus diberi hadiah.
  • Belum tahu mengapa peraturan dibuat.
  • Jika tidak ada yang mengawasi, mereka cenderung melanggar aturan.
  • Balas membalas, yaitu jika orang lain berbuat baik maka saya akan berbuat baik juga demikian sebaliknya.
  • Sering membanding-bandingkan.
  • Selalu menuntut keadilan. Jika tidak mendapat keadilan ia akan melanggar perintah.
    Tidak bisa melihat dari sisi orang lain dan tidak sensitif terhadap perasaan orang lain sehingga cenderung bersikap kasar.
  • Kurang bisa melihat suatu tindakan salah sehingga berbohong dan curang dianggap hal yang biasa.
  • Merasa puas jika pekerjaannya telah selesai.
3. Memenuhi Harapan Lingkungan (Peer-Oriented Morality), ciri-ciri :
  • Ingin mendapatkan penghargaan sosial. Ia mau berbuat sesuatu kebaikan hanya untuk mendapatkan anggapan ”orang baik”.
  • Memperlakukan orang lain dengan harapan orang lain memperlakukan hal yang sama dirinya.
  • Dapat mengerti apa yang dibutuhkan orang lain.
  • Menganggap orang tua adalah orang yang bijak sehingga perlu mengikuti nasihatnya.
  • Bisa menerima tanggung jawab dan melakukannya untuk kepentingan keluarganya.
  • Sadar bahwa mereka anggota sebuah kelompok.
  • Rela melakukan apa saja termasuk yang negatif agar dapat diterima kelompoknya.
  • Mudah menerima pengaruh teman sebaya.
  • Tahapan ini biasanya dapat dicapai oleh anak-anak yang berusia antara 8,5 - 14 tahun.
4. Ingin Menjaga Kelompok (Collective-Oriented Morality)
  • Setia kepada aturan-aturan atau kode etik kelompok/masyarakatnya dengan tujuan tercipta ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat itu.
  • Ia menjalankan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat demi ketertiban masyarakat.
  • Percaya bahwa manusia yang baik adalah yang bertanggung jawab terhadap peran dalam sistem sosial.
  • Lebih mandiri sehingga tidak lagi sekedar menuruti keinginan kawan-kawannya.
  • Dapat melihat dampak yang lebih besar dari sebuah tindakan negatif.
  • Peduli kepada sesama anggota sistem sosial (keluarga, masyarakat, agama) walaupun kepada orang yang tidak dikenalnya.
  • Sadar bahwa dirinya harus melakukan peran untuk keutuhan sistem sosialnya.
  • Sadar pentingnya menjadi warga negara yang baik.
  • Tertarik pada masalah politik.
  • Berlaku tidak adil kepada orang yang berbeda sistem sosialnya.

Seseorang yang telah mencapai tahap ini sudah dianggap bagus namun tahapan ini belum mencerminkan kualitas moral tertinggi. Seseorang yang menjunjung tinggi prinsip moral hanya semata-mata untuk mempertahankan sebuah sistem sosial kemasyarakatannya belum tentu memiliki tingkatan moral tertinggi, bisa saja sebuah sistem sosial mempengaruhi individu untuk berbuat tidak baik, misalnya demi menjaga keutuhan sistem sosial atau menjaga harga diri masyarakat sosialnya, rela melakukan perang, padahal dalam peperangan tentu tidak dapat menghidari perbuatan membunuh orang lain. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang telah mencapai tahapan kelima atau tahapan tertinggi.

5. Moralitas Tidak Berpihak (Objectively-Oriented Morality).
Disebut tahap moralitas yang paling tinggi. Ciri-ciri seseorang telah mencapai tahap ini antara lain :

  • Menghormati hak azasi manusia.
  • Tidak bergantung pada kepentingan pribadi maupun kelompok.
  • Dapat mempertahankan prinsip-prinsip moral yang menghargai hak azasi manusia, walaupun harus bersebrangan dengan sistem yang ada.
  • Berpegang teguh pada prinsip moral universal walaupun harus bertentangan dengan kelompok/masyarakat/pemerintah.
  • Memegang teguh komitmen atas persamaan hak seluruh umat manusia.
  • Perbuatan baiknya didasari oleh pemahamannya bahwa setiap manusia berhak mendapatkan perlakuan yang baik, jadi bukan karena kepentingan pribadi atau kelompok.
  • Bersikap objektif dalam menilai kebenaran walapun harus berada di luar ideologi sosial tempat asalnya.
  • Tidak memaksakan kehendanya.
  • Merasa berkewajiban membantu siapa saja.
  • Tujuan tidak membenarkan cara, misalnya tujuan bagus tidak boleh dilakukan dengan cara yang buruk.
  • Komit terhadap tanggung jawab.
  • Semua manusia diperlakukan sama secara moral.

Menurut Thomas Lickona, seperti dikutip Megawangi (2007), fase kelima dapat dicapai pada usia 20 tahun. Mereka yang sudah bisa mencapai tahap ini akan mengacu pada hati nurani. Perbuatan baiknya karena hati nuraninya memang berkata demikian, jadi bukan karena kepentingan pribadi atau kelompoknya. Seseorang yang telah mencapai tingkatan moral tertinggi adalah mereka yang dapat menghargai hak azasi manusia. Mereka juga tidak mudah terprovokasi atau termakan propaganda pemimpinnya, karena nuraninya hanya berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral yang menghargai setiap manusia, walaupun berbeda sistem sosial atau bahkan agamanya.
Bagi orang dewasa, pemahaman tahapan-tahapan moral seperti dikemukakan di atas kiranya dapat digunakan sebagai tolok ukur seberapa tinggi tahapan moralnya. Logikanya semakin banyak usia kita mestinya tahapan moral yang dicapai tinggi pula bukan justru sebaliknya. Bagi guru, pemahaman tersebut bermanfaat untuk membantu peserta didik dalam mencapai tahap-tahap moral sesuai dengan perkembangannya. Guru hendaknya mampu menggunakan langkah-langkah yang tepat ketika memberikan bimbingan kepada peserta didiknya, terutama dalam pendidikan karakternya, agar tidak terjadi upaya pemaksaan atau salah menggunakan kriteria ketika menentukan intervensi dalam rangka membantu perkembangan karakter anak.

Disarikan dari :
Megawangi, R. (2007).Pendidikan Karakter yang Sesuai dengan Tahapan Moral Anak.
Pendidikan Karakter.
Indonesia Heritage Foundation : Jakarta